Loading...

Loading...

Al-Irsyad Al-Islamiyyah Purwokerto

Terdepan dalam Akhlak Mulia

  • img
  • img
  • img
  • img
  • img
  • img

Get In Touch

Apakah Cita-Citamu yang Paling Tinggi?

Oleh: Ustaz Agus Tardian, M.Pd.I.
Ketua Lajnah Kaderisasi PC Al Irsyad Al Islamiyyah Purwokerto

Setiap insan pasti memiliki harapan dan tujuan dalam hidupnya. Namun, ketika kita berbicara tentang cita-cita tertinggi, kita perlu bertanya lebih dalam: Apakah cita-cita itu hanya terbatas pada urusan duniawi seperti gelar, pangkat, popularitas, atau harta? Ataukah kita sudah mengarahkan pandangan kita lebih jauh, menuju kehidupan abadi di akhirat?

Realitanya, banyak di antara kita yang berlomba-lomba mengejar kemegahan dunia. Padahal, dunia ini hanyalah tempat persinggahan sementara. Yang patut kita kejar dengan sungguh-sungguh adalah ridha Allah dan tempat tertinggi di sisi-Nya, yakni surga.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, Kami akan berikan balasan kepada mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Tetapi orang-orang itulah yang di akhirat tidak mendapat apa-apa, kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia serta sia-sialah apa yang mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15–16)

Mari kita tadabburi kisah inspiratif dari seorang sahabat mulia, Rabi’ah bin Ka’ab Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu. Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

“Wahai Rabi’ah, mintalah sesuatu kepadaku.”
Dengan penuh keyakinan dan pandangan jauh ke depan, ia menjawab:
“Aku memohon agar dapat menemanimu di surga.”
Nabi kembali bertanya, “Atau yang lainnya?” Namun Rabi’ah tetap menjawab:
“Itu saja.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

“Bantulah aku (untuk mengabulkan permintaanmu itu) dengan memperbanyak sujud.”
(HR. Bukhari, no. 489)

Inilah cita-cita yang sesungguhnya—bukan sekadar mimpi duniawi yang fana, tapi permintaan agung untuk menemani Rasulullah di surga. Bandingkan dengan kondisi kita hari ini: betapa banyak yang menjadikan perut dan syahwat sebagai orientasi hidup, dan betapa sedikit yang menjadikan akhirat sebagai tujuan utama.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata:

"Cita-cita itu terbagi menjadi dua: cita-cita yang hanya berputar pada urusan perut dan syahwat, dan cita-cita yang terikat dengan Yang Berada di atas 'Arsy, yakni Allah Ta'ala."
(Al-Fawaa’id, hlm. 16–17)

Hasan Al-Bashri rahimahullah menasihati:

"Jika engkau melihat ada orang yang menyaingimu dalam urusan dunia, maka saingilah dia dalam urusan akhirat."

Dan Wahib bin Ward rahimahullah juga mengingatkan:

"Jika engkau mampu agar tak seorang pun mendahuluimu dalam menuju Allah, maka lakukanlah!"

Saudaraku, kader-kader dakwah yang dirahmati Allah, mari kita luruskan kembali arah hidup kita. Jangan biarkan waktu dan tenaga terkuras habis untuk ambisi duniawi yang tak seberapa. Jadikan akhirat sebagai cita-cita utama, dan ilmu sebagai jalannya.

Imam Ahmad rahimahullah, seorang ulama besar yang hidup penuh pengorbanan demi ilmu, pernah ditanya:

"Kapankah seseorang bisa benar-benar merasakan nikmatnya istirahat?"
Beliau menjawab tegas: "Ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di surga."
(Ar-Raqa’iq, hlm. 17)

Betapa dalam makna dari jawaban ini. Artinya, selama di dunia, perjuangan tak boleh berhenti. Kita harus terus bergerak, belajar, beramal, dan berdakwah. Karena itu, cita-cita besar harus kita sandarkan pada keinginan untuk menjadi hamba Allah yang mulia di akhirat kelak.

Seorang thalibul ‘ilmi, khususnya yang berada di jalur kaderisasi dakwah, hendaknya memiliki cita-cita tinggi. Cita-cita bukan sekadar berapa kitab yang selesai dibaca, tapi seberapa besar kontribusinya dalam menguatkan barisan dakwah dan menegakkan kalimat Allah.

Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullah berkata:

"Di antara akhlak Islam adalah berhias diri dengan cita-cita tinggi. Ia menjadi motor penggerak langkah dan pengawas arah gerakmu. Cita-cita yang tinggi akan mendatangkan kebaikan tak terputus, hingga engkau meraih derajat yang sempurna, dengan izin Allah."
(Hilyah Thalib Al-‘Ilmi, hlm. 35)

Akhirnya, kita semua—baik da’i, santri, mahasiswa, ataupun kader dakwah—hendaknya bertanya dalam hati: "Sudahkah aku memiliki cita-cita yang agung? Atau sekadar mimpi kecil duniawi yang menipu?"

Semoga Allah menetapkan hati kita di atas jalan-Nya, mengokohkan langkah kita di medan dakwah, dan mengangkat kita bersama orang-orang yang bercita-cita tinggi di dunia dan akhirat.

Wallāhu a‘lam bish-shawāb.